BATANG | KompasX.com – Kejadian memilukan menimpa seorang perempuan berinisial IM, warga Desa Bandar, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang. Niat awal untuk memperbaiki hidup dengan menerima pinangan nikah siri dari seorang pengusaha hiburan malam berinisial IR, justru menjadi awal dari penderitaan panjang yang dialaminya.
Pada 2 Januari 2025 sekitar pukul 18.00 WIB, IM dilaporkan oleh suami sirihnya sendiri ke pihak kepolisian dengan tuduhan dugaan penggelapan satu unit mobil. Laporan tersebut tercatat dalam dokumen kepolisian dengan nomor LP/B/38/VI/2025/SPKT.SAT RESKRIM/ POLRES BATANG/POLDA JAWA TENGAH, tertanggal 10 Juni 2025, dan kini masih ditangani oleh Satreskrim Polres Batang.
Dari hubungan nikah siri tersebut, IM dikaruniai seorang anak laki-laki berusia 2 tahun, yang kini terancam kehilangan kasih sayang seorang ibu akibat jeratan hukum. Dalam keterangannya, IM mengakui perbuatannya namun menyebut tindakannya dilatarbelakangi oleh desakan kebutuhan hidup dan tanggung jawab sebagai ibu.
“Saya tidak punya pilihan lain. Anak saya masih kecil, butuh biaya makan, susu, dan kesehatan. Tapi IR tidak memberikan nafkah yang cukup,” ujar IM dengan nada sedih.
Yang lebih menyayat hati, IM mengaku sebelumnya telah melaporkan istri IR atas dugaan penganiayaan ke Polres Batang. Namun hingga kini, laporan tersebut belum menunjukkan perkembangan yang berarti, bahkan terkesan diabaikan oleh Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA).
“Sebelum saya dilaporkan oleh IR, saya sudah duluan lapor karena saya dipukuli istrinya serta di cakar, Tapi laporan saya seperti tidak dipedulikan. Sekarang saya justru dikasuskan,” ungkap IM sambil menangis.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar dari masyarakat, apakah perlindungan terhadap perempuan dan anak benar-benar ditegakkan? Mengapa laporan dugaan kekerasan terhadap perempuan terkesan tidak diprioritaskan, sementara laporan dari pihak pelaku justru langsung ditindak?
Sementara itu, nasib anak yang masih berusia dua tahun pun dipertaruhkan. Ia terancam kehilangan asuhan langsung dari sang ibu yang kini harus menghadapi proses hukum yang tidak ringan.
Kasus ini menuai sorotan tajam dari aktivis dan pemerhati hak perempuan serta perlindungan anak. Banyak pihak menilai perlunya keadilan yang berimbang dan keberpihakan nyata terhadap korban, khususnya perempuan dalam pernikahan tidak tercatat yang kerap kali menjadi pihak paling rentan secara hukum dan sosial.
Kasus IM adalah tamparan keras bagi sistem hukum dan perlindungan anak di Indonesia. Ketika seorang ibu harus menghadapi proses hukum berat hanya karena mempertahankan hidup anaknya, publik layak untuk bersuara: Hukum harus adil, tidak hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas!
Laporan : isk