Cirebon, suaramasyrakat.com — Sudah hampir sepuluh tahun, Yani (43) mencari nafkah dengan berjualan di Hutan Kota Sumber, Cirebon, Yani mulai berjualan sejak kawasan ini diresmikan pada 2014. Awalnya, ia hanya menjajakan minuman ringan.
“Awal mulanya saya jualan es, terus jualan otak-otak, hingga sekarang sampai jualan mi ayam bakso untuk ganti adik, jadi hidupnya bergantung sama hutan kota ini,” tutur Yani, Selasa, (29/10/2024).
Tak hanya mi ayam bakso, bersama suaminya, Yani juga membuka lapak menggambar dan penyewaan mainan anak-anak. Saat awal berjualan, omzetnya bisa mencapai jutaan rupiah. Namun kini, ia hanya memperoleh sekitar ratusan ribu rupiah per hari.
“Kalau dulu jualan masih ramai, sekarang sudah sepi, dulu kalau hari libur dalam sehari bisa sampai dapat Rp 1,5 juta, tapi sekarang kalau hari libur paling dapat Rp 700 ribu. Untuk di luar hari libur paling dapatnya Rp 100-200 ribu. Jadi cuma mengandalkan di hari libur. Penyebabnya, mungkin karena banyak tempat wisata juga,” tutur Yani.
Di tengah perjuangannya, Yani juga menghadapi ancaman relokasi yang sering menghantui. Meski begitu, ia tak sepenuhnya menolak, asal relokasi itu masih di area yang sama dengan Hutan Kota Sumber.
Yani menjelaskan, dia pernah direlokasi ke area selter yang sudah disediakan oleh pemerintah. Namun, karena jaraknya cukup jauh dari hutan kota, bukanya mendapatkan untung di tempat baru, dalam sehari, dagangan Yani malah tidak laku sama sekali.
“Pengenya sih direlokasi tapi jangan di luar hutan kota, jangan sampai menyeberang jalan. Ibaratnya yang ramainya di sini masa jualannya di sana, kan orang jadi malas buat beli. Pernah jualan di shelter sana, tapi malah seharian tidak ada yang beli,” tutur Yani.
Ia menunjuk ke bagian belakang hutan kota yang kumuh dan tak terurus. Menurutnya, lahan kosong itu bisa dimanfaatkan untuk membuat shelter bagi para pedagang. “Daripada kumuh kayak gitu, mending dibuat shelter biar rapi, nggak jauh dari sini,” katanya penuh harap.
Yani sendiri adalah ibu dari dua anak, salah satunya Ananda Wahyuningsih, yang sejak kecil mengidap autisme. “Anaknya tiga, meninggal satu jadi tinggal dua, tapi satunya autis, tidak hanya autis tapi juga punya epilepsi sama otaknya juga tidak bisa menyerap, jadi penyakitnya campur tuh, cuma orangnya mah masih kelihatan sehat,’ tutur Yani.
Awalnya, Yani berusaha menyekolahkan Ananda di Sekolah Luar Biasa (SLB). Tapi, karena keterbatasan waktu dan usianya yang kian besar, Yani memutuskan untuk menghentikan sekolah Ananda di kelas 6 SLB.
“Udah nggak disekolahin lagi, karena waktu buat ngantar nggak ada, semua kerja. Anak saya ini epilepsinya sering kambuh, takutnya kejadian di sekolah kalau dia sendirian. Sekarang dia udah 14 tahun, tapi perilakunya masih kayak anak-anak,” ujar Yani.
Ketika Ananda masih kecil, Yani sering membawanya ke berbagai tempat berobat. Namun, keterbatasan biaya membuatnya memilih merawat Ananda sendiri di rumah. Meski begitu, keinginannya untuk memberikan terapi pada Ananda masih tetap ada, jika suatu saat memungkinkan.
“Sudah pernah berobat di RSUD Gunung Jati mentoknya disuruh ke Bandung, cuma karena tidak ada biaya. Memang bisa gratis pakai BPJS, tapi untuk biaya hidup sehari-harinya apa. Untuk keinginan buat terapi mah tetap ada, biar dia nemu bakatnya, cuman kan terkendala sama biaya dan waktu juga, kita kan bukan pewaris, jadi setiap hari harus kerja cari makan, mungkin lain cerita kalau kita dari kalangan mampu mah, ” tutur Yani.
Di tengah segala kesulitan, Yani tetap berusaha membahagiakan Ananda. Dia sering membawa anaknya untuk bermain atau menemani berjualan di Hutan Kota Sumber. Menurut Yani, kesabaran dan mental yang kuat adalah kunci dalam merawat anak berkebutuhan khusus, meski seringkali ia harus menelan pil pahit dari stigma masyarakat.